JERIH TEKAD TOKOH NASIONALIS INDONESIA: MOHAMMAD YAMIN
JERIH TEKAD TOKOH NASIONALIS INDONESIA:
MOHAMMAD YAMIN
Oleh: NN
Tidak akan pernah ada pesawat,
jika dua Wright bersaudara tidak pernah memulai untuk merakitnya. Pun tidak
akan pernah ada kemerdekaan bagi Indonesia, jika para pahlawan tidak berkorban
untuk mendapatkannya. Karena itu, tidak sampai hati rasanya, jika jasa para
pahlawan tidak diapresiasi dengan baik dan dipigura untuk menjadi suatu yang
abadi yang bisa dijadikan contoh, semangat juangnya, bagi masyarakat Indonesia.
Bicara tentang kemerdekaan,
tentu banyak sekali maknanya, baik yang sudah maupun yang belum terungkap, bagi
Indonesia. Kemerdekaan merupakan titik awal yang menjadikan sebuah negara mulai
mencoba melangkah untuk mendapatkan kesejahteraannya. Kendati demikian, tentu
banyak sekali halang rintang yang perlu dilewati setiap negara untuk
menggenggam kemerdekaannya. Halang rintang tersebut dapat menjelma menjadi
berbagai hal dalam aspek yang berbeda-beda; konflik, pemberontakan, perbedaan
pemikiran, ketegangan budaya dan sebagainya.
Dalam hal ini, peran yang
diberikan pahlawan untuk merenggut kemerdekaan Indonesia dari sang Penjajah pun
memiliki ranah yang berbeda-beda. Para pahlawan memiliki caranya sendiri untuk
berjuang demi negaranya. Dengan sepenuh hati, mereka menggeluti bidang mereka
masing-masing dengan kesungguhan hati. Lalu, apa yang dilakukan Prof. Mr.
Mohammad Yamin, S. H yang diresmikan menjadi pahlawan Indonesia pada 6 November
1973 sesuai dengan SK Presiden RI No. 088/TK/1973 ini?
Bergelut dalam bidang tulis-menulis
merupakan perjuangan awal seorang Mohammad Yamin. Sekitar tahun 1920-an,
Mohammad Yamin memiliki karier yang berkembang dalam kesusastraan Indonesia.
Karya-karya awalnya terikat dalam bentuk-bentuk bahasa Melayu Klasik[1].
Pada tahun 1922, Mohammad
Yamin menelurkan puisi-puisinya. Ialah berjudul Tanah Air, di mana tanah
tercinta yang dimaksud adalah ranah Minangkabau, Sumatera. Yang notabene
merupakan tempat kelahirannya, Sawahlunto. Selain itu, bapak pahlawan kelahiran
24 Agustus 1903 ini pun meluncurkan karya puisinya yang kedua, berjudul Tumpah
Darahku. Di mana puisi ini lahir bertepatan pada hari Sumpah Pemuda, yaitu
tanggal 28 Oktober 1928.
Bicara tentang Sumpah Pemuda,
yang merupakan hasil dari Kongres Pemuda II, Mohammad Yamin ternyata memainkan
peran besarnya untuk meretaskan teks Sumpah Pemuda tersebut. Selain menjadi
representatif dari Jong Soematranen Bond, Mohammad Yamin pun memiliki tanggung
jawab sebagai sekretaris Kongres Pemuda tersebut. Dengan posisi yang menangguhkan
beban tersebut, Mohammad Yamin benar-benar merasa tanggung jawab untuk membuat
hasil ataupun kesimpulan dari Kongres Pemuda tersebut. Ia benar-benar merasa
harus menghasilkan suatu karya yang dapat menjadi pemersatu bangsa Indonesia.
Maka selama pidato terakhir
yang tengah disampaikan oleh Mr. Sunario, ia sibuk mencorat-coret kertas dengan
pena-nya tanpa memperhatikan lagi apa yang disampaikan oleh Mr. Sunario. Dengan
penuh rasa percaya, Soegondo Djojopoespito, Ketua Kongres Pemuda saat itu,
langsung membaca sekilas coretan bakal rumusan resolusi pemuda Indonesia yang
kelak dinamakan Sumpah Pemuda itu, membubuhkan paraf, dan memberinya kepada
Amir Sjarifudin selaku bendahara, agar kemudian dapat diitarkan ke seluruh
pemuda yang hadir dan disetujui oleh mereka[2].
Saat itu usianya kerap 25 tahun. Sungguh luar biasa.
Apa yang terdapat dalam Sumpah
Pemuda ini relevan terhadap puisi yang juga ditulis oleh Mohammad Yamin. Puisi
tersebut berjudul Bahasa Bangsa. Di mana dalam puisi ini tertanam rasa
nasionalisme yang tertumpu dari bahasa terhadap bangsa. Mohammad Yamin seperti
berkeyakinan bahwa bahasa merupakan sambungan jiwa yang pasti dimiliki setiap
bangsa (sebagai ciri bangsa yang berbudaya) dan dapat menjadi alat pemersatu
bangsa. Dengan begitu bahasa sangat penting, bahasa tidak boleh dilupakan dan
harus dijaga[3].
Sehingga tidak heran jika dalam rumusan Sumpah Pemuda terdapat teks yang
berbunyi:
“Kami
poetra dan poetri Indonesia menjoenjoeng bahasa jang satoe, bahasa Indonesia.”
Rasa nasionalisme yang tinggi, cita-cita akan integrasi sebuah bangsa merupakan salah satu sisi khas Mohammad Yamin. Ia begitu cinta terhadap negara―salah satu hal positif yang dapat ditiru oleh generasi bangsa―akan tetapi rasa cinta ini seperti terlalu berlebih. Dapat dilihat dari lambang Gajah Mada yang dibuat olehnya. Gajah Mada, dalam versinya, dibuat menyerupai sosok yang gempal, berpipi tembam dan bermuka tegas. Bak seperti dirinya.
Sebagai seorang nasionalis, tentu tokoh Gajah Mada tidak asing baginya. Terlebih karena Mohammad Yamin pun ialah seorang sejarawan yang banyak membukukan peristiwa-peristiwa penting berkenaan dengan kemerdekaan Indonesia[4], yang kini cukup berarti sebagai sumber primer sejarah―meskipun menggunakan perspektif darinya. Tokoh Gajah Mada yang memiliki Sumpah Palapa untuk menyatukan nusantara ini membuat Mohammad Yamin kagum tak terkira dengan sosoknya. Selain pembuatan lambang Gajah Mada[5], yang condong mirip dirinya dan membuat ia mendapat stigma begitu terobsesi dengan Gajah Mada dan kejayaan Kerajaan Majapahit, ia juga membuat buku tentang peran Gajah Mada.
Hal lain yang dicetuskan oleh
Mohammad Yamin ialah hal krusial yang dianggapnya sangat dinanti dan menjadi
hak rakyat: HAK ASASI MANUSIA. Tokoh pahlawan yang menjunjung human rights ini
begitu bertolak belakang dengan Soepomo yang ingin mewujudkan paham
kekeluargaan sebagai landasan Indonesia ketika sidang BPUPKI. Menurut Soepomo,
adanya declaration of rights bersifat indivisualisme dan
ke-barat-barat-an. Ia berkata:
“Jangan menyandarkan negara
kita pada aliran perseorangan, akan tetapi pada aliran kekeluargaan. Oleh
karena menurut pikiran saya, aliran kekeluargaan sesuai dengan sifat
ke-timur-an. Jadi saya anggap tidak perlu mengadakan declaration of rights.”[6]
Kendati se-iya se-kata,
Mohammad Yamin justru menyanggah pendapat Soepomo dan menjelaskan kepadanya
bahwa HAM ialah hak rakyat, dan jika hak rakyat itu tidak terang dalam
konstitusi, akan terjadi kekhilafan. Ialah Grondwettelijke fout, yang
berarti kesalahan undang-undang hukum dasar. Di mana menurutnya, hal itu besar
sekali dosanya untuk rakyat. Dengan pendapat dari Mohammad Yamin tersebut, HAM
pun dilindungi undang-undang, dan setiap penduduk memiliki hak konstitusional.
Pembelaan Mohammad Yamin
terhadap hak setiap individu tercermin dalam salah satu kebijakannya untuk
melepas tahanan yang ditahan tanpa proses persidangan sejak 1949 karena di-cap
komunis atau sosialis. Kala itu, ketika ia menjabat menjadi Menteri Kehakiman,
Mohammad Yamin membebaskan 950 tahanan polisi yang ditahan tanpa proses penuntutan.
Meskipun setelah itu
keputusannya dihadapi banyak pertentangan dan ia kemudian diserang oleh DPR, ia
tetap menjalankan kebijakannya unntuk melepas tahanan yang dianggapnya tidak
bersalah itu (tanpa grasi atau remisi) dan berkata, “saya tanggung jawab”. Hal
ini disaksikan sendiri oleh advokat senior bernama Adnan Buyung Nasution yang
mengaku masih terngiang oleh perkataan Mohammad Yamin tersebut.
Tahun 1962, bertepatan pada
tanggal 17 Oktober diumurnya yang ke-59 tahun, Mohammad Yamin wafat di Jakarta.
Ia meninggalkan seorang putra bernama Dang Rahadian Sinayangsih Yamin dari
istri satu-satunya yang merupakan bangsawan Demak, bernama Siti Sundari
(menikah sejak 1937). Ia pun dimakamkan di ranah kelahirannya, Desa Talawi,
Sawahlunto, Sumatera Barat.
Berikut lantunan sajaknya ia
bacakan di akhir pemaparannya ketika sidang BPUPKI. Lantunan cinta bagi Ibu
Pertiwi. Dengan segenap harapan akan satunya negeri. Semoga langkah juangnya
dapat ditekuni. Aamiin.
“Hati yang mukmin selalu
meminta
Kepada Tuhan Yang Maha Esa,
Supaya Negara Republik
Indonesia;
Kuat dan kokoh selama-lamanya
Melindungi rakyat, makmur
selamat,
Hidup bersatu di laut- di
darat”
***
PENDIDIKAN
Hollands Indlandsche School (HIS)
Sekolah guru
Sekolah Menengah Pertanian Bogor
Sekolah
Dokter Hewan Bogor
AMS
Sekolah kehakiman (Reeht Hogeschool) Jakarta
KARIR
Ketua
Jong Sumatera Bond (1926-1928)
Anggota Partai Indonesia (1931)
Pendiri partai Gerakan Rakyat Indonesia
Anggota BPUPKI
Anggota Panitia Sembilan
anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
Menteri Pendidikan
Menteri Kebudayaan
Menteri Penerangan
Ketua
Dewan Perancang Nasional (1962)
Ketua
Dewan Pengawas IKBN Antara (1961–1962)
PENGHARGAAN
Gelar pahlawanan nasional pada tahun 1973
sesuai dengan SK Presiden RI No. 088/TK/1973
Bintang Mahaputra RI
Tanda penghargaan dari Corps Polisi Militer
sebagai pencipta lambang Gajah Mada dan Panca Darma Corps
Tanda penghargaan Panglima Kostrad atas
jasanya menciptakan Petaka Komando Strategi Angkatan Darat
KARYA-KARYA
Tanah
Air (puisi), 1922
Indonesia,
Tumpah Darahku, 1928
Kalau
Dewa Tara Sudah Berkata (drama), 1932
Ken Arok
dan Ken Dedes (drama), 1934
Sedjarah
Peperangan Dipanegara, 1945
Tan
Malaka, 1945
Gadjah
Mada (novel), 1948
Sapta
Dharma, 1950
Revolusi
Amerika, 1951
Proklamasi
dan Konstitusi Republik Indonesia, 1951
Kebudayaan
Asia-Afrika, 1955
Konstitusi
Indonesia dalam Gelanggang Demokrasi, 1956
6000
Tahun Sang Merah Putih, 1958
Naskah
Persiapan Undang-undang Dasar, 1960, 3 jilid
Ketatanegaraan
Madjapahit, 7 jilid
[2]
http://news.liputan6.com/read/731122/sumpah-pemuda-cerita-secarik-kertas-dari-yamin (diakses pada tanggal 21 Maret 2016)
[3] http://tintanina.blogspot.co.id/2014/11/analisis-puisi-bahasa-bangsa-siapa-yang.html (diakses pada tanggal 21 Maret 2016)
[4]
Mohammad Yamin membuat buku berjudul “Sapta Parwa Tata Negara Majapahit” dan
juga membukukan risalah rapat BPUPKI dan PPKI (http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol23182/muhammad-yamin-pelopor-hak-asasi-manusia-di-awal-republik-)
[5]
Mohammad Yamin mendapat tanda penghargaan dari Corps Polisi Militer sebagai
pencipta lambang Gajah Mada dan Panca Darma Corps (http://www.biografipahlawan.com/2014/11/biografi-muhammad-yamin.html)
[6]
Tercatat dalam Buku Risalah BPUPKI dan PPKI terbitan Sekretaris Negara (http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol23182/muhammad-yamin-pelopor-hak-asasi-manusia-di-awal-republik-)
Komentar
Posting Komentar