GARIS
GARIS
Oleh: Muhammad
Zaim Hanifi
Gemerisik baju zirah menjadi melodi
kematian bagi mereka yang kalah. Meninggalkan kerabat, sahabat, dan rekan dalam
keadaan terpenggal di medan perang. Tanpa henti menghantui mereka, membisikkan
nyanyian traumatis yang melekat di tubuh mereka. Siapakah mereka? Tanyakan pada
tanah gersang yang mereka pijak dengan langkah terseok-seok. Mereka datang
dengan bangga akan jumlah mereka yang banyak, dan kembali dengan tubuh gemetar
setelah menyaksikan sebagian besar dari mereka tandas dilahap pedang dan panah.
“Kita!”
Teriak salah satu dari mereka, baju zirah putih-emas mengkilapnya menunjukkan
status dan pangkatnya. “Takkan berhenti berjalan! Kita akan terus berjalan ke
timur! Kembali ke Elspeth!” Perintahnya sembari menjinjing pelindung kepalanya.
“Siap, Komandan!” Teriak seratus orang
yang tersisa yang dipimpinnya dengan serentak namun lesuh, beberapa dari mereka
terluka dan kehilangan bagian tubuhnya. Mereka berjalan dengan saling
membopong.
“Kita
akan berbelok ke utara setelah berjalan dua puluh kilometer lagi.” Celetuk
seorang lelaki di antara mereka dengan santainya. Ia mengenakan helm perang,
namun tak sehelai pun kain membalut perut dan dadanya.
Sang
komandan melempar helmnya dan datang menghampiri sumber suara. Merasa terhina,
ia memukul perut sang lelaki bertelanjang dada dengan sarung tangan besi hingga
tersungkur. “Dasar kau Ogden sialan, Berani kau melawan peritahku! Kau bahkan
hanya duduk santai ketika kami mati-matian berusaha merebut kemenangan!”
“Oh?”
Lelaki tersebut bangkit kembali seakan-akan tak ada hal yang terjadi pada tubuhnya.
“Maaf, ralat. Bukan kalian yang berjuang, melainkan mereka, komandan yang
terhormat.” Katanya dengan nada mengejek. “Kau, bahkan hanya berdiri di
belakang, memberi perintah tak berguna kepada kami, dan kau lihat hasilnya?”
Lanjutnya, membuat seluruh pasukan disekitarnya menghentikan langkahnya.
Darah
sang komandan pun mendidih, sekali lagi, ia melayangkan tinjunya kepada lelaki
tersebut, kali ini mengarah ke wajahnya yang tertutupi helm. Namun nihil, hanya
udaralah yang ditinjunya. Lelaki yang menjadi sasarannya menghindar dengan
lihai, lalu mengembalikan tinjunya ke wajah sang komandan yang tak terlindungi.
Sang komandan tersungkur bersimbah darah.
Tak
selesai sampai disitu, lelaki tersebut menghampiri komandan yang terbaring
kesakitan. Ia menduduki tubuh sang komandan dan disikutnya wajah sang komandan
hingga patah hidungnya. Rasa sakit yang menyengat membuat sekujur tubuhnya
kehilangan tenaga. Dan pada detik itu, lelaki tersebut mengambil salah satu
dari banyak belati di sabuk yang tersandang di pinggangnya. Dengan paksa, ia
membuka mulut sang komandan, menarik lidahnya dan memotongnya.
Semua
prajurit diam seribu bahasa melihat kejadian tersebut. Jeritan komandan mereka
menjadi suara latar belakang mengerikan dalam teater manekin. Tak ada seorang
pun yang berani melawan dikarenakan identitas lelaki tersebut sebagai seorang
Ogden.
Dengan
santainya, lelaki tersebut membuang potongan lidah yang berada di tangannya.
“Dengan ini, aku tak lagi perlu mendengar celotehanmu. Jangan pernah memerintah
kami para Ogden, kecuali kau adalah yang mulia raja.” Katanya seraya bangkit
berdiri, dan untuk terakhir kalinya, ia melancarkan sebuah tendangan yang telak
mengenai kepala sang komandan hingga kehilangan kesadaran. “Bawa dia, dan ikuti
aku,” perintahnya.
“Tunggu,
buat apa kita berbelok ke utara? Dan apa yang membuatmu berpikir kami akan
mengikutimu? Kau bahkan tak memiliki wewenang untuk memerintah kami.” Tanya
salah satu perajurit kepada sang lelaki Ogden.
“Mereka
punya kuda sedangkan kita hanya berjalan kaki. Berjalan lurus ke timur hanya
bunuh diri, cepat atau lambat kita akan terkejar oleh mereka.” Jawabnya, lalu
ia berhenti sejenak dan berbalik menghadap para prajurit di belakangnya.
“Yah…silakan untuk tidak menurutiku, jika kalian memiliki rencana yang lebih
baik, atau jika kalian benar-benar ingin mati di bawah perintah komandan tak
berguna sepertinya. Jika ia masih bisa
memberi perintah, tentu saja.”
>>>#<<<
“Kau,
dan kau.” Tunjuk sang lelaki Ogden secara acak. “Bawa 23 orang yang terluka
menuju ke Utara. Satu kilometer dari sini kalian akan menemukan sebuah gua yang
cukup luas, sembunyikan dan rawat mereka disana. Kalian yang bertanggung
jawab.”
“Tapi…tidak
cukup kalau hanya kami berdua.” Sahut salah seorang yang tertunjuk.
“Aku
belum selesai bicara.” Timpal si lelaki Ogden. “Kalian berdua yang bertanggung
jawab, ikut sertakan semuanya dengan kalian termasuk komandan kalian, kecuali
dua puluh orang terbaik yang akan kupilih sendiri. Tinggalkan mereka disini
bersamaku. Sekarang sudah senja, cepat bergerak sebelum malam tiba.” Lanjutnya dengan
tegas.
Dua
orang yang diperintah lelaki tersebut mengangguk singkat dan segera
mengumpulkan mereka yang terluka. Setelah itu si lelaki Ogden segera memilih
dua puluh orang prajurit diantara mereka untuk menetap, dan bersamanya duduk di
atas gersangnya tanah kemarau, menyaksikan sebagian yang lain pergi ke Utara.
Tersisa dua puluh satu orang yang
terduduk diam disana. Hening membumbung dalam waktu yang cukup lama, hingga
seorang prajurit membuka mulut. “Mengapa kami?” Tanyanya pada sang lelaki
Ogden.
Sang lelaki Ogden menghela napas
dalam-dalam. “Tugasku adalah membawa berita kemenangan kepada raja Espelth secara personal. Dan kalian, adalah orang yang paling
kompeten dalam membantuku menyelesaikan tugas. Aku memerhatikan kalian di medan
perang, dan kembalinya kalian dalam keadaan sehat adalah salah satu bukti
keahlian kalian,” katanya.
“Berita kemenangan? Tidakkah kau punya
mata? Kita sudah kalah! Apa yang bisa kita lakukan dengan dua puluh satu
orang!?” Seorang prajurit berbadan paling besar kehilangan kesabarannya setelah
diperintah tanpa adanya kejelasan mengenai nasib mereka sekarang. Ia bangkit
berdiri di hadapan si lelaki Ogden, menatapnya dengan penuh kecaman.
“Kita akan menunggu.” Jawabnya dengan
santai. “Disini, di balik bukit ini. Kita akan menunggu hingga malam, tanpa
berkemah, tanpa api.”
Si prajurit berbadan besar semakin
kehilangan kendali akan emosinya, namun tak berani melakukan apa pun. Logikanya
hanya memperbolehkan pita suaranya saja yang mengamuk. “Apa kau bodoh!?
Disini!? Kita meninggalkan jejak dan kita belum berjalan jauh ke Utara! Mereka
akan menemukan kita disini ketika malam tiba!” Ia berhenti membentak dan
mengusap wajahnya, memikirkan takdir yang menunggunya di penghujung malam.
“Sesuai perhitunganku, mereka akan
berkemah tak jauh dari bukit ini, mengikuti jejak kita. Dan karena mereka akan
sampai disini malam, akan terlalu gelap bagi mereka untuk mencari kita.” Timpal
si lelaki Ogden.
“Tapi mereka punya obor,” sahut seorang
prajurit lain.
Sang lelaki Ogden tertawa. “Percayalah,
malam ini akan menjadi malam yang terlalu panas
bagi mereka untuk menyalakan obor.”
>>>#<<<
“Akhirnya
aku mengerti apa yang kau maksud dengan terlalu panas.” Ujar sang prajurit berbadan besar dengan suara yang
bergetar. Tubuhnya menggigil akibat hujan yang amat deras dan angin yang
berhembus kencang. Petir yang menggelegar secara berkala memberikan pencahayaan
kepada mereka di tengah gelapnya malam.
“Dan
kau benar mengenai mereka akan berkemah tak jauh darisini. Aku bahkan dapat
melihat perkemahan mereka,” kata seorang prajurit lain.
“Baiklah,
sekarang waktunya.” Sang lelaki Ogden menarik napas dalam-dalam. “Kita takkan
lari, namun kita yang akan membuat mereka tak bisa lari. Ini adalah taruhan,
jika kita gagal, bukan hanya kita yang akan mati, namun juga mereka yang
bersembunyi di gua. Mengerti?”
“Mengerti,” jawab dua puluh orang yang lainnya serentak.
“Aku
akan membagi semuanya menjadi empat regu, kecuali diriku. Kalian berpisahlah
dan menyusup ke perkemahan mereka dari empat arah yang berbeda. Jika ada yang
menyadari kehadiran kalian, bunuh tanpa membuat kerusuhan. Temukan dimana
mereka menyimpan kuda-kuda mereka, dan bunuh semua kuda yang ada, dan hanya
sisakan cukup kuda bagi kalian untuk kabur. Aku akan bergerak sendiri dan
mencari siapa yang memerintah disana. Kita punya waktu lima belas menit sebelum
semuanya berubah menjadi buruk.” Lelaki Ogden menjelaskan rencananya dengan
panjang lebar. “Ada yang ingin bertanya?”
“Umm…apa
yang kau maksud berubah menjadi buruk? Dan mengapa hanya bunuh kuda-kuda
mereka?” Tanya salah seorang prajurit.
Si
lelaki Ogden mendengus. “Yah…jika menyaksikan puncak hujan siklon dari dekat
akan membuatmu merasa lebih baik, maka silakan saja. Sekarang semua bergerak!”
Dan
mereka pun pergi menuruni bukit.
>>>#<<<
Terpisah
dari yang lainnya, si lelaki Ogden memilih untuk menghindari pertikaian. Ia
mengendap-endap di balik tenda yang menari-nari tertiup angin. Tanah yang dipijaknya
sangatlah berlumpur dan licin akibat derasnya hujan, memperlambat gerakannya di
tengah wilayah musuh dengan ratusan prajurit yang bersinggah. Situasi yang
terlihat sangat tidak menguntungkan baginya, ditambah lagi dengan tubuhnya yang
sedikit kaku akibat dinginnya hujan langsung mengenai tubuh atasnya yang tak
terbalut apapun.
Ia
terus mengendap-endap dari tenda ke tenda lain untuk menghindari pandangan
sedikit prajurit yang berjaga. Bergerak ketika tak ada kilatan petir di langit
yang berisiko meneranginya di tengah gelap malam. Hingga pada satu titik, ia
menemukan apa yang ia cari. Tak terlalu susah untuk menemukannya sebenarnya,
sebuah tenda terbesar yang terletak di pusat perkemahan tersebut, dan dengan
warna yang sangat mencolok, sudah jelas siapa orang yang berada di dalamnya.
Ketika
targetnya sudah berada di depan mata, yang menjadi masalah sekarang ialah dua
prajurit berbaju zirah lengkap yang tetap berjaga di depan tenda itu ketika
bahkan hampir tak ada prajurit lain yang berlalu lalang diluar tenda. Dari
jarak belasan meter, ia mengamati kedua prajurit yang berjaga dari balik tempat
persembunyiannya. Mereka berdua jelas sangat kelelahan, terlihat jelas dari
postur berdiri mereka yang tak tegak dan pundak-pundak mereka yang turun. Baju
zirah yang mereka kenakan juga kira-kira berbobot dua puluh kilogram, dalam
situasi seperti ini hal itu sangatlah tidak menguntungkan bagi mereka.
Tanpa
perlu berpikir keras, sang lelaki Ogden sudah tahu apa yang akan dilakukannya.
Ia mengambil satu belati dari pinggangnya, dan menunggu datangnya kilatan petir
di langit. Setelah kilat menerangi perkemahan dalam sekedip mata, ia pun
berhitung. Satu. Dua. Dan ia melempar belati di tangannya dengan sekuat tenaga
menuju kepala salah satu penjaga. Petir menggelegar tepat disaat belati yang ia
lemparkan tertanam di kepala targetnya, menutupi denting benturan belati dan
helm. Dan sebelum prajurit lainnya yang berjaga dapat berteriak memperingati
yang lain, sang lelaki Ogden sudah melesat ke arahnya dengan kecepatan yang sedikit
melebih batas manusiawi, salah satu kelebihan para Ogden. Dengan belatinya yang
lain, Ia menerjang dan menyayat leher sang penjaga yang tidak terlindungi apa
pun.
Sang
lelaki Ogden mengelus-elus dadanya lega. Hampir
saja aku kehilangan pijakanku tadi, batinnya. Lalu, ia mengambil kembali
belatinya yang tertanam di wajah salah seorang mayat di dekatnya.
Selanjutnya, ia pergi memasuki tenda
yang menjadi tujuannya sejak awal dan menyeret kedua mayat korbannya bersamanya
demi menghindari kecurigaan dari prajurit musuh. Di dalamnya, ia menemukan
seorang pria yang dengan nyenyaknya tertidur di balik hangatnya selimut yang
terbuat dari kulit hewan. Dia masih dapat bersantai dalam keadaan seperti ini,
sudah jelas dialah yang berkuasa di perkemahan ini. Tenggorokannya adalah
sasaran empuk bagi belati sang lelaki Ogden. Setelah membunuhnya, si lelaki
Ogden mengambil pedang yang diduganya milik sang korban sebagai oleh-oleh.
Sebuah pedang berkualitas tinggi dengan ukiran indah di pangkalnya berhasil
memancing keluar senyumannya.
“Penyusup! Ada penyusup di kandang kuda!” Terdengar teriakan di luar tenda merenggut senyuman si
lelaki Ogden
“Sial. Aku harap mereka berhasil,” gumam
si lelaki Ogden. Keadaan sudah memburuk, sudah waktunya untuk kabur. Ia
berbalik dan melesat keluar tenda.
Sesampainya
di luar tenda, ia langsung mendapatkan sebuah sambutan yang teramat sangat
hangat dari sebuah mata tombak yang melesat ke wajahnya. Refleksnya mengambil alih tubuhnya dan ia berhasil
menghindar dari kematian, hanya sedikit dari pelindung kepalanya tergores.
Namun, tombak itu tidak datang sendiri, melainkan bersama dengan pemiliknya
yang menerjang ke arahnya. Si lelaki Ogden balik menerjang penyerangnya,
berharap dapat memanfaatkan momentum ini untuk masuk ke dalam ruang dimana mata
tombak lawannya tak dapat menjangkaunya. Namun, menyadari apa yang akan
dilakukannya, sang penyerang memilih untuk melesat mundur.
Dengan
pedang rampasan di tangan kanan dan belati di tangan kiri, si lelaki Ogden
berhadapan dengan penyerangnya. Mengetahui ini semua takkan berakhir dengan
mudah, ia lebih memilih mengamati lawannya terlebih dahulu dibanding langsung
menerjang. Lawan di hadapannya sekarang mengenakan pakaian perang yang berbeda dengan
prajurit Aviana lain yang berkemah disini. Ketika prajurit lain mengenakan baju
zirah berat, lawannya kini hanya mengenakan pakaian perang dari kulit dan tanpa
menggunakan pelindung kepala. Namun, satu-satunya senjata yang ada di tubuh
lawannya hanyalah sebuah tombak, yang membuatnya lebih optimis akan memenangkan
pertarungan ini.
Waktu adalah
hal yang harus dipertimbangkan dalam situasi ini. Si lelaki Ogden harus pergi
darisini sebelum prajurit lawan yang lain datang, dan sebelum cuaca yang buruk
semakin memburuk. Ia terpaksa harus menyelesaikannya secepat mungkin. Namun,
sejauh ini ada satu pertanyaan yang mengganjal di benaknya.
“Darimana
kau tahu aku ada disini?” Tanya sang lelaki Ogden.
Sang lelaki
bertombak mendengus. “Mereka hanya terlalu bodoh untuk menyadarinya.”
“Sayang kau
akan mati disini sebelum bisa memperingati mereka.”
Si lelaki
Ogden melempar belati di tangan kirinya ke arah lawannya dan menerjangnya.
Lelaki bertombak yang menjadi lawannya menghindari belati yang melesat ke
arahnya dengan melompat ke kiri. Dan pada detik itu juga, pedang sang lelaki
Ogden datang menerjang dari arah berlawanan dengan arah ia melompat. Ia
menangkisnya dengan tombaknya hingga ia terpental dan terjerembab dalam lumpur.
Kemenangan
tampak berpihak kepadanya, si lelaki Ogden kembali menerjang lawannya yang
belum bangkit. Namun, sebelum ia sempat mengayunkan pedangnya, sang lelaki
bertombak menyelamkan tombaknya dalam lumpur dan menyipratkannya ke arah helm
sang lelaki Ogden, menutupi pandangannya sehingga ia kembali mundur, melompat
ke belakang.
Sang lelaki
bertombak menggunakan tombaknya bagaikan tubuhnya sendiri. Ia melompat ke depan
dan menancapkan tombaknya di tanah yang tak begitu lembek. Ia berayun dengan
tombaknya sebagai poros, dan melancarkan tendangan yang mengenai sisi kanan
lelaki Ogden. Sang lelaki Ogden pun terjerembab dan pedangnya terlepas dari
genggaman tangan kanannya dan terpental jauh dari jangkauannya.
Namun, Sang
lelaki Ogden sudah bangkit kembali bahkan sebelum lawannya menyadarinya,
membuat lawannya mengurungkan niatnya untuk menerjangnya. Ia mengambil belati
terakhirnya dari pinggang dan siap menerjang.
Tiba-tiba,
seekor kuda dengan seorang penunggang menghampiri sang lelaki Ogden. “Hei, ayo
kita pergi.” Kata seorang prajurit Espelth berbadan besar di atas kuda
curiannya.
“Kalian
berhasil? Dimana yang lainnya?” Tanya sang lelaki Ogden.
“Iya, tapi
banyak dari kita yang terbunuh dan terjebak di kandang kuda. Aku hanya melihat
dua atau tiga orang yang berhasil kabur. Kau ingin naik atau tidak? Cepat
sebelum mereka datang!” Timpal sang prajurit.
Sang lelaki
Ogden menatap lelaki bertombak yang menjadi lawannya. Entah mengapa, ia sama
sekali tidak mencegahnya untuk kabur. Ia terdiam sejenak memikirkan apa yang
harus dilakukannya. Bertemu dengan lawan yang sepadan dengannya selain para
Ogden adalah sebuah kesempatan yang tak ingin dilewatinya. “Tidak, kau duluan
saja. Aku masih ada urusan yang harus kuselesaikan,” jawabnya dengan sebuah
seringai di balik helm.
“Aku harap
kau mati,” kata sang prajurit Espelth seraya meninggalkan perkemahan dengan
kuda yang ditungganginya.
“Terima
kasih.”
Sang lelaki
Ogden kembali memusatkan perhatiannya pada lelaki bertombak di hadapannya.
Dengan lihai ia memainkan belati di tangannya untuk memancing lawan. “Kenapa
kau tak menyerangku tadi? Padahal kau bisa membunuhku dengan mudah ketika
perhatianku teralihkan.”
“Aku tak
menyangka akan berhadapan dengan seorang Ogden.” Kata sang lelaki bertombak tak
menghiraukan pertanyaan lawan bicaranya.
Si lelaki
Ogden tertegun. “Bagaimana kau ta–oh, tentu saja, pakaianku,” timpalnya.
Sang pria
bertombak mendengus. “Dahulu kalian para Ogden ditakuti dan dijuluki sebagai
pembunuh para raja, tetapi sekarang kalian berubah menjadi alat sang raja.
Bagaimana semuanya bisa seperti ini?”
Sang lelaki
Ogden tertawa. “Kita ini sedang bertarung atau berkencan!?”
Sang lelaki
bertombak mendengus. “Gurauanmu terasa pahit. Aku tahu kau sadar kita tak bisa
berlama-lama disini, angin puyuh dapat datang kapan pun di tengah hujan siklon.
Jadi aku lebih memilih untuk berkencan denganmu untuk sekarang, para Ogden
sudah lama menarik perhatianku.” Katanya seraya melepaskan tombaknya dari
genggaman.
“Yah…tak ada
gunanya membunuhmu di saat kau tidak ingin bertarung.” Si lelaki Ogden tertawa
kecil dan menyimpan kembali belatinya di pinggang. “Abner, Abner Ogden.”
“Hm?”
“Kami para
Ogden memberi tahu nama kami kepada lawan kami yang kami anggap kuat,” ujarnya.
“Namaku
Daxten, dan kau belum menjawab pertanyaanku,” timpal lelaki bertombak.
“Kau tahu
hampir semua kehancuran dimulai dari pengkhianatan.”
Daxten
terdiam sejenak. “Lantas mengapa kalian tak melawan? Kalian bisa dengan mudah menghancurkan
Elspeth, seperti dahulu kala.”
“Perempuan.
Mereka menyembunyikan perempuan kami, dan mengancam akan membunuh mereka semua
jika salah satu dari kami mengacau. Kami hanya dipertemukan dengan
perempuan-perempuan kami sekali dalam setahun untuk bercinta di dalam
kamar-kamar kerajaan,” jawab sang lelaki Ogden.
“Oh… tentu
saja, tradisi Ogden untuk menjaga kualitas tiap generasi. Hanya lahirkan Ogden
darah murni.”
“Dan kau
tahu lebih banyak daripada yang seharusnya. Aku rasa aku benar-benar harus
membunuhmu sekarang. Tapi kau merasakannya kan? Waktu kita tidak banyak.
Berjanjilah kita akan bertarung lagi jika takdir mempertemukan kita lagi,” kata
sang lelaki Ogden seraya berbalik. Angin berhembus semakin kencang di tengah
badai. Kini sebagian besar tenda di perkemahan sudah terlepas dari pasaknya.
“Tidak.
Kecuali kau ingin membantuku.”
“Apa?” Sang
lelaki Ogden menghentikan langkahnya.
“Ada seorang
gadis berambut pirang bernama Niana yang mereka tawan, bawa dia kabur darisini.
Aku masih memiliki sedikit urusan disini,” jawabnya seraya melangkah pergi
menuju sumber suara keributan di kandang kuda.
“Tunggu!
Dimana aku harus mencarinya?!” Teriak sang lelaki Ogden. Namun sama sekali tak
ada balasan. Ia tak mungkin mengejarnya sekarang. Datang ke tempat yang Daxten
tuju sekarang sama saja dengan bunuh diri. “Argh sial…sepertinya aku memang
harus melakukannya.” Ia mengutuk kepada angin yang semakin menggila.
Sang lelaki
Ogden berlari menyusuri perkemahan yang kini terasa sangat kurang penjagaan.
Situasi semakin terlihat buruk dengan datangnya angin putting beliung yang
menghisap tenda-tenda dan manusia ke dalamnya, membuat ratusan prajurit yang harusnya berjaga kini
kocar-kacir berharap masi ada hari esok untuk mereka. Semuanya sudah terlambat
baginya. Mungkin memang seharusnya ia mengiyakan tawaran prajurit Espelth tadi.
Namun, entah
mengapa sepertinya dewi keberuntungan sedang berpihak kepadanya malam ini. Tadi
ia dapat bertemu dengan seseorang yang cukup menarik perhatiannya, kini mendadak
melintas di hadapannya, seekor kuda tak bertuan dengan keretanya yang sedang
mengamuk karena takut, membuat langkahnya yang berantakan menjadi lambat di
atas licinnya lumpur. Sang lelaki Ogden mengejar kuda tersebut, lalu melompat
ke atas punuk kuda tersebut demi menungganginya. Tak punya waktu untuk melepas
kereta yang terpasang pada kuda yang ditungganginya, ia pun memilih untuk tak
menghiraukannya.
Diambilnya kendali akan kuda tersebut, ia mengarahkannya
menyusuri tanah dengan pijakan yang lebih baik. Hingga akhirnya, ia dapat
keluar dari perkemahan, menjauhi kekacauan, dan sekali lagi, menghindari
kematian. Namun yang disayangkannya, ia tak dapat menepati janjinya.
>>>#<<<
Entah sudah
berapa lama ia menunggangi kudanya, tetapi sekarang fajar sudah membumbung dan
badai sudah sama sekali hilang, dan ia kehilangan arah. Yah…setidaknya ia
berhasil menyelamatkan diri. Sama dengan apa yang dirasakan kuda yang
ditungganginya, rasa lelah mengambil alih tubuhnya dengan perlahan tapi pasti.
Pandangannya mengabur dan berkali-kali ia hampir tumbang dari kudanya.
“Siapa kau?”
Tanya sebuah suara halus yang berhasil mengejutkannya dan kembali membuatnya
terjaga. Sang lelaki Ogden mencari sumber suara di kanan dan kirinya, dan ia
baru teringat akan sesuatu. Ia belum melepas kereta kudanya.
Sang lelaki
Ogden menghentikan langkah kudanya. Dibukanya tirai kereta kuda yang dibawanya,
dan ia menemukan seorang gadis berambut pirang dan berpakaian gaun putih
terbaring di dalamnya, dengan tangan dan kaki terikat. Ini adalah kali kedua
dalam dua puluh empat jam senyuman terukir di wajahnya. “Apakah kau Niana?”
Tanya Abner sang lelaki Ogden.
Gadis itu
tak menjawabnya, dan malah menatapnya kosong.
“Akan aku
anggap itu sebagai ‘iya’,” kata Abner seraya kembali menjalankan kembali
kudanya.
>>>#<<<
Matahari
sudah membumbung tinggi ketika Abner menemukan sebuah gua untuk beristirahat di
tengah entah berantah. Ia menepi di gua tersebut dan turun dari tunggangannya.
Setelah itu ia memutari kereta kuda curiannya dan membuka tirai belakangnya.
“Kita akan bersinggah disini, aku lelah. Kau ingin ikut tidak?” Tanyanya kepada
gadis yang berbaring terbelenggu. Dan lagi-lagi, gadis itu tak menimpalinya.
Sang lelaki
Ogden menghela napas dalam-dalam, lelah bermonolog sepanjang perjalanan. Tanpa
pikir panjang, ia menarik gadis itu turun dan menggendongnya di pundaknya,
berjalan menuju gua tempat mereka akan bersinggah. Kini rasa lapar, lelah, dan
dahaga bersatu padu menumpulkan kewaspadaan Abner.
Dengan lunglai ia membawa gadis itu di pundaknya tanpa
menyadari apa yang sedang dilakukan gadis tersebut. Dengan kedua tangan
terikat, gadis tersebut berhasil mengambil sebilah belati yang tersandang di
pinggang Abner. Diawali dengan satu tarikan napas panjang, ia menanamkan belati
tersebut di punggung Abner, menembus hingga ke perutnya, membuat lelaki Ogden
tersebut tumbang.
Gadis tersebut terjatuh di tanah dengan belati masih di
genggamannya. Terburu-buru, ia memotong tambang yang membelenggu kedua kakinya
sebelum lelaki di dekatnya bangit. Rasa lega mewarnai hati sang gadis ketika
pada akhirnya ia dapat berdiri dan berjalan lagi di atas kakinya. Sekilas, ia
memandang Abner yang masih terkulai lemas bersimbah darah. Sekarang atau tidak
sama sekali, ia berbalik meninggalkan Abner dan menaiki pelana kuda di
dekatnya.
Gadis itu sudah hampir memacu kuda tunggangannya, ketika
lelaki yang ditikamnya mengerang dan mengigau. “Dingin…dingin…,” katanya dengan
suara yang lirih seraya ia mulai kehabisan darah. “Keparat…kau…keparat
kau…Daxten.”
Itu dia, nama itu, pada akhirnya membuat sang gadis
mengurungkan niatnya untuk meninggalkannya dalam keadaan sekarat.
>>>#<<<
Warna merah
memenuhi lantai kerajaan Espelth. Dan bau darah mendominasi udara seisi
kerajaan. Tujuh orang lelaki bertelanjang dada sedang berbincang dari balik
helm perang mereka, di atas genangan darah, di hadapan yang mulia Raja Espelth
yang membisu. Membisu di atas singgasananya, dengan kepalanya yang tergantikan
oleh sebuah kapak raksasa.
“Terjadi
lagi... semua ini terjadi lagi...,” kata salah seorang dari mereka dengan suara
yang bergetar. Bukan hanya suaranya, melainkan seluruh tubuhnya yang kering
kerontang bergetar dan bergerak-gerak dalam cara yang tak normal, seakan-akan
menyiratkan kegilaan.
“Sekarang
apa?” Tanya seorang yang lain yang berbadan bungkuk dan berdiri dengan tangan
dan kakinya. Cakar-cakar besi yang bersimbah darah tertanam di seluruh
jemarinya. “Apa yang akan kita lakukan?” Kata-katanya lebih terdengar seperti
erangan hewan buas dibanding suara manusia.
Seorang pria
berbadan sangat besar – sangat besar hingga mencapai titik abnormal –
mendengus. Dengusannya cukup untuk membuat genangan darah di kakinya berriak.
“Kau masih bertanya apa yang harus kita lakukan!? Tentu kau sendiri tahu jawabannya!
Abner! Bocah sialan itu, dia mengkhianati Ogden! Tiga ratus tahun kita bertahan
dalam keadaan seperti ini! Dan semuanya berakhir dengan dia berkhianat!” Dia
mengucapkan setiap perkataannya dengan teriakan yang menggema di dalam
kerajaan. “Tak kusangka, akan datang saatnya bagiku tuk memburu anakku
sendiri!” Katanya seraya mencabut kapak raksasanya yang tertanam di singgasana
sang raja.
>>>#<<<
Tak
terhitung sudah berapa kali ia terbangun hanya untuk tertidur lagi. Ingatannya
akan apa yang ia lihat ketika terbangun sangatlah samar. Pertama ia melihat
langit-langit gua yang tak rata. Kedua adalah seorang lelaki dan perempuan yang
bahkan wajahnya tak bisa ia ingat. Dan yang terakhir, seekor burung raksasa
yang berkoak tepat di depan wajahnya seakan ingin menelannya hidup-hidup.
Tunggu, burung raksasa!? Abner tersentak
bangun dan menemukan dirinya terbaring dalam balutan perban di samping seekor
burung raksasa. Perasaan panik mendominasi dirinya dan membuatnya ingin
mengambil langkah seribu disaat itu juga. Namun, ketika ia berusaha bangkit
duduk, rasa sakit yang amat sangat menusuk tiba-tiba datang menyelubungi
tubuhnya, membuatnya mengerang tak karuhan.
“Oh? Tenanglah,
burung itu jinak. Niana! Dia bangun lagi!” Seru sebuah suara yang terdengar
familiar di telinga Abner.
Abner
menoleh ke arah datangnya suara, dan menemukan sosok lelaki bertombak yang
ditemuinya ketika di perkemahan Aviana. Di sampingnya, berdiri seorang gadis
berambut pirang yang meninggalkan kenangan buruk di benaknya. “Kau! Daxten!
Gadis itu mencoba untuk membunuhku!”
“Tenanglah,
itu hanyalah sedikit kesalah pahaman,” timpal Daxten dengan santainya. Setelah
itu ia mengalihkan pandangannya pada gadis di dekatnya. “Niana, ambilkan air untuknya.”
Dan gadis itu menanggapinya dengan anggukan
“Dan aku
hampir saja kehilangan nyawaku karenanya!”
“Setidaknya
dia bertanggung jawab dalam merawatmu selama kau koma. Reputasimu sebagai
seorang Ogden juga tidak berbohong. Aku terkejut kau masih hidup setelah
memiliki lubang di perutmu.”
Abner
mengatur napasnya demi meredakan emosinya. “Sudah berapa lama aku tak sadarkan
diri?” Tanyanya.
“Tiga
minggu?” Timpal Niana dengan membawa semangkuk air di tangannya.
“Tiga
minggu!? Bawa aku kembali ke Elspeth, cepat!” Emosi Abner kembali memuncak.
Daxten
menghela napasnya seraya mengeluarkan segulung kertas dari saku celananya. Ia
berjongkok di samping Abner dan menunjukkannya gulungan itu. Ekspresi wajah
Abner seketika berubah kaku setelah melihat wajahnya yang tergambar di atas
sehelai kertas itu, dengan namanya tertera, dan sebuah nominal besar sebagai
imbalan akan kepalanya.
“Iya-iya aku
tahu wajahmu terlihat mengerikan, terutama kedua mata yang berwarna merah darah
itu. Sekarang aku tahu mengapa kalian selalu mengenakan helm perang. Kau
langsung mengenali seorang Ogden ketika kau melihat wajahnya,” gurau Daxten.
Gurauan
tersebut sama sekali tak bisa merubah raut yang terukir di wajah Abner. “Apa
yang terjadi? Mengapa bisa seperti ini?” Suaranya terdengar lirih karena
tenggorokannya yang sangat kering.
“Tidak
kembalinya kau menyebabkan semua ini. Pertama mereka mengira kau sudah mati,
namun jasadmu tak bisa ditemukan di dekat daerah pertempuran terjadi. Jadi
mereka berkesimpulan bahwa kau kabur dan berkhianat. Sekarang Elspeth dalam
kekacauan setelah rajamu memberi perintah untuk membunuh semua wanita Ogden.
Mengetahui semua itu, para Ogden mengamuk dan membantai seisi kerajaan. Dan
sekarang mereka akan datang untukmu, penyebab dari semua ini.” Jelas Daxten.
Kini Abner
tenggelam dalam pikirannya. Segala macam perasaan bercampur aduk dalam dirinya.
Menggantikan rasa sakit dan haus yang bersarang di tubuhnya.
“Tak ada gunanya
bagimu kembali ke Elspeth. Ikutlah denganku,” kata Daxten seraya mengulurkan
tangannya pada Abner.
>>>#<<<
“Daxten.”
Panggil Niana seraya duduk di samping lelaki tersebut, di luar gua tempat Abner
sedang tertidur dan memulihkan luka-lukanya.
“Hm?”
“Bagaimana
jika ia mengetahuinya?”
“Maka aku
akan membunuhnya,” timpal Daxten.
“Mengapa kau
masih melakukan ini? Kau sudah mencapai tujuanmu bukan?” Tanya Niana.
“Aku memang
sudah membunuhnya, ayahku, yang mulia Raja Elspeth. Aku menjebaknya dengan
semua ini. Ia tak pernah memberi perintah untuk membunuh seluruh wanita dan
anak-anak Ogden, hal itu hanya akan merugikannya. Akulah yang membunuh mereka
semua dengan meracuni mata air mereka. Dengan ini, garis keturunan darah murni
pun terhenti sampai disini. Namun, aku tak peduli dengan seberapa kotornya
tangan ini. Karena semua ini masih belum cukup.”
“Mengapa?
Kau masih bisa menghentikan semua ini dan menikmati hidup dengan selayaknya.”
Bujuk Niana.
“Menikmati
hidup? Kau pikir aku pantas mendapatkan kedamaian? Kelahiranku ke dunia ini
adalah sebuah kesalahan. Aku terlahir dari sebuah dosa. Dari rahim seorang
wanita Ogden yang diperkosa oleh seorang raja sialan. Aku siap menerima apa pun
hukuman yang menunggu diriku di penghujung hayatku. Karena aku masih memiliki
satu tujuan yang lebih besar.”
“Apa? Apa
yang membuatmu ingin melanjutkan ini semua?”
“Aku, untuk
mereka yang menderita karena perang tak berpenghujung ini, akan menyatukan
keempat kerajaan.”
-END-
Komentar
Posting Komentar