MAINKAN BINGO-MU



MAINKAN BINGO-MU
Karya: NN


                “Bertemu lagi besok?” Ujarnya.
Mataku terpaku (lagi). Entah mengapa aku selalu terperangah setiap ia berkata. Mata birunya… mewujudkan impianku untuk tenggelam sedalam-dalamnya di lautan biru, padahal kami baru bertemu. Kurasa, aku jatuh hati seketika. Omong-omong, namanya Aldebaran.
                “Oke,” sahutku cepat.
Jika aku masih SMP, mungkin setelah ini aku akan memburu buku harianku dan menulis: mana mungkin aku hanya bilang oke? Ya Tuhan, seharusnya aku bilang, ‘pasti’ atau ‘akan kupastikan diriku berada di hadapanmu pada jam 5 pagi saking kangennya’. Namun, yah… berhubung aku sudah SMA, aku harus lebih dewasa.

***
               
“Baru pulang?”
Ayah menyapaku tepat ketika aku mendaratkan tubuh di sofa. Aku menuju rumah jam sebelas malam ketika tadi berpamitan dengan Aldebaran. Mungkin sekarang tepat tengah malam, atau bahkan nyaris subuh? Entahlah. Aku tidak berniat untuk tahu. Lebih tepatnya, aku tidak berniat untuk peduli.
                “Tidak penting bagi Ayah.”
Aku langsung melengos ke kamar, membanting pintu dan tidak mempedulikannya lagi. Memang selalu begitu, kok. Tidak perlu khawatir. Ayah pasti sudah membiasakan dirinya diperlakukan demikian olehku sejak setahun lalu.
                Tidak ada yang kusuka dari diri ayah; matanya, hidungnya, rambutnya, janggutnya―jika ia belum bercukur, dan sebagainya. Nyaris tak ada titik yang tersisa untuk aku menyukainya, kecuali satu hal. Satu hal yang entah suka atau tidak sudah terwariskan secara biologis olehku. Ialah fanatisme terhadap permainan BINGO (baca: bing-go).
                Aku menyukai Bingo dan sangat fanatik terhadapnya. Ya, Bingo. Permainan sederhana yang bisa dilakukan kapan dan di mana saja―kau bahkan dapat membuatnya sendiri di atas kertas. Permainan berupa tabel, angka, coretan, dan teriakan “bingo!” yang menggebu oleh satu dari dua pemain yang telah berhasil menyelesaikannya terlebih dahulu. Ayahku tahu hal ini, ia tahu bahwa aku lebih menyukai Bingo dibanding Sudoku. Karena memang dirinya lah yang mencekoki-ku dengan Bingo.
Ayah seorang gamers yang unggul, begitu pun ibu. Bedanya, ayah unggul dalam Bingo. Sedangkan ibu unggul dalam Sudoku. Sifat keduanya sungguh bertolak belakang. Teman-teman mereka semasa kuliah pun, katanya, sangat bingung saat tahu bahwa mereka akan menikah.
Bagaimana bisa? Si Ate dan Sarah itu kan tidak pernah akur. Apa mereka hanya berkhayal saat menikah?
Lalu teman yang lainnya akan menyahut, “mungkin, mereka menikah dalam video game.”
Seketika derai tawa pun terdengar.
Itulah yang kudengar dari ayah ketika aku berulang tahun yang ke-13. Aku ingat sekali, saat itu ulang tahunku hanya dirayakan di rumah, tanpa teman maupun saudara. Hanya ada kami bertiga―ketika kami masih bertiga―yaitu ayah, ibu dan aku. Ketika itu Ayah membuat suasana rumah menjadi gelap dan dipenuhi cahaya redup lilin.
“Kayak candle light dinner, gitu loh, Fal. Dulu ayah melamar ibu dengan cara seperti ini. Ibu langsung nangis sesenggukan. Terus bilang, ‘aku nggak nyangka Ate, musuh bebuyutan yang ternyata mencintaiku, bisa sebegini romantis’.” Ujar ayah saat itu.
Lalu tanpa sadar mengalirlah cerita masa muda mereka dulu.
Mereka dulu senang berdebat. Debatnya tidak jauh-jauh dari ‘mana yang lebih menyenangkan: Bingo atau Sudoku?’, ‘mana yang lebih bermanfaat: Bingo atau Sudoku?’, hal-hal semacam itu. Intinya tentang Bingo versus Sudoku. Setiap hari mereka terlibat adu mulut. Bisa hanya sekedar ejekan kecil, atau kuliah pagi tentang kehebatan dari masing-masing permainan sebelum mata kuliah ‘yang sebenarnya’ di mulai. Bahkan, dosen dari jurusan programmer yang mereka ambil sampai berkata, “saya tahu kalian cocok. Kalian hanya belum menemukan cara untuk bersatu. Kalian, kan, gamers sejati. Ketika seseorang yang pandai mencintai suatu hal bertemu dengan seseorang yang pandai mencintai suatu hal, tentunya cinta mereka akan abadi. Kutunggu undangan resepsi kalian”.
Selang beberapa hari semenjak deklarasi ‘wah, kalian cocok, loh’ dari dosen tersebut, ayah melamar ibu. Langsung melamar!
“Kurasa kita memang cocok, Sar. Hanya perbedaan jenis yang menjadi penghalang. Aku pada Bingo dan kau pada Sudoku. Tetapi, toh, itu sama-sama permainan, bukan? Aku laki-laki dan kau perempuan. Tetapi, toh, kita sama-sama manusia, bukan? Dan kau tahu bahwa manusia bisa bersatu. Mengapa tidak si Bingo dan si Sudoku bersatu?”
Ibu tersipu semu detik itu juga dan langsung menerima ayah. Begitulah, ayah dan ibuku bersatu. Mereka pun kemudian membuahkan maha karya perusahaan game yang besar di ibu kota. Perusahaan yang terfokus pada pembuatan video game saja yang berbentuk program atau aplikasi. Entahlah, aku kurang mengerti (hanya Bingo teman sejawatku). Ayah dan ibu sepakat untuk tidak memberi unsur Bingo maupun Sudoku. Biar nggak berantem, kata ayah. Karena unsur saingan mereka masih jelas kentara. Dan tidak memilih keduanya adalah jalan teradil menurut mereka.
Oh, tunggu. I-phone-ku bergetar.
“Hai, Al.” Aku menyapa lawan bicaraku.
“Selamat pagi, Fal.”
Ah, aku yakin, senyumnya pasti terulas di wajahnya sekarang.
“Selamat pagi? Kau kira jam berapa sekarang?”
“Tepat tiga pagi.”
“Tiga itu masih malam.”
“Sudah pagi, Fal.”
“Malam.”
“Pagi.”
“Malam,” kerasku.
“Sudah. Pagi. Sialeeds Falenas,” ujarnya setengah gemas dengan menekankan kata per kata.
Ini lah kebiasaan Aldebaran yang sudah kuketahui hari ini (atau lebih tepat disebut kemarin?), yaitu menyebut nama panjang lawan bicara ketika sudah naik pitam.
Ekspresi Al―begitulah aku memanggilnya―sangat lucu saat mengetahui nama panjangku. Mulutnya terbuka penuh, diikuti dahi yang mengerut sangat dalam dan mata yang nyaris keluar. Ia kaget luar biasa dan iri secara bersamaan. Terang saja, namaku kan diambil dari tokoh video game Suikoden V. Ia, yang notabene pecinta segala jenis game, langsung berteriak dan pura-pura mencekikku.
Bagaimana mungkin orang tuamu nggak ketinggalan zaman?! Fal, oh, ya Tuhan, kita harus menikah! Akan kuwariskan wajahku yang ganteng ini, dan kau akan mewariskan nama kerenmu! Woah, anak kita pasti akan sempurna!
Hahaha. Mengingatnya selalu membuatku tertawa. Rasanya aku sudah mengenalnya ribuan tahun. Aku sungguh merasa nyaman bersama Al. Terlebih, ia bisa membuatku tertawa setelah setahun aku tidak melakukannya.
“Terserah kau, Aldebaran.”
Say it again, please.”
“Apa?”
My name. I like the way you say my name.”
“Haha. Jangan bercanda. Ada apa menelepon?”
“Bertemu denganku jam lima pagi di bandara.”
“Hmm…. Aku tidak melihat ada alasan yang penting untuk ke sana.”
“Aku akan kembali ke London, Fal. Yakin, kau tidak mau datang?”
Loh, Al. Tapi kau bilang masih akan lama di sini? Kenapa? Ada apa?”
Maaf Al, tapi aku tidak bisa ditinggalkan begitu saja setelah aku merasa nyaman denganmu.
“Urusan mendadak, Fal. Persiapan untuk olimpiade. Pelaksanaannya dua minggu dari sekarang. Aku harus mempersiapkan segalanya. Pihak penyelenggara tiba-tiba mempercepat tanggalnya. I can’t do anything, then. Tolong datang, ya?”
“Oke.”
Ah, lagi-lagi. Hanya oke yang bisa kukatakan.

***

“FALE!” Teriak ayah dari lantai dua.
Derap kaki yang terburu-buru pun menggelegar di dalam rumahku. Sial. Aku memang tidak pandai untuk mengendap-endap.
“Jam berapa sekarang?! Hah?! Jam empat pagi, Fale! Kau mau ke mana?!” Bentak ayah.
“Bukan urusan Ayah,” jawabku santai.
“URUSANKU FALE! ITU URUSANKU! KAU ANAKKU!”
“Kenapa Ayah marah? Ayah tak pernah melakukannya.”
“ANAK KURANG AJAR KAMU YA!”
Saat ayah hendak melambaikan tangannya dan berniat menamparku, aku balik menantang.
“Tampar saja Ayah.”
“AAAH. Apa salah Ayah, Fale?!”
“Ayah membuat ibu mati. Sudah jelas bukan?”
“Itu di luar skenarioku!”
“Lalu apa yang kau skenario-kan, Ayah? Meracuni Ibu agar ia mati pelan-pelan? Sama saja.”
“Aku juga tidak ingin Ibu-mu mati, Fale!”
“Dusta! Dari awal Ayah memang hanya ingin memanfaatkan Ibu, bukan? Ayah tahu, Ibu berasal dari keluarga yang berada. Ayah tahu, Ibu akan membuat perusaahan game sendiri tepat setelah kalian lulus.
Ayah ingin menjadi pelopor olimpiade Bingo yang memang tidak pernah dikompetisikan. Tidak seperti Sudoku yang memang bisa dan sudah memiliki olimpiade sendiri. Lalu Ayah mengkhianati Ibu dengan membuat olimpiade Bingo secara diam-diam kan? Ibu pun mati karena tidak menyangka suaminya sehina Ayah! Coba katakan padaku, bagian mana dari penjelasanku yang salah?! Hah?!”
Aku tak pernah terlibat adu mulut seperti ini dengan ayah. Ayah selalu diam, tak pernah melawan ketika aku membentak atau mengabaikannya sejak aku tahu kebenaran ini. Kita pun tak pernah membicarakan tentang kematian ibu. Namun hari ini… terasa lain.
Ayah hanya diam tak bergeming. Tidak ada respons untuk perkataanku. Haha. Ternyata memang benar. Mengapa aku baru memastikannya setelah satu tahun?
“Aku pergi,” ujarku kemudian.
Aku pun menelepon taksi dan bergegas ke bandara. Ah, membayangkan wajahnya saja membuatku tenang. Hanya Al yang bisa membahagiakanku.
Empat puluh lima menit setelahnya aku baru sampai di bandara. Setelah memberi selembar uang berwarna merah, aku langsung melejit ke tempat Al berada tanpa mempedulikan kembalian yang seharusnya kuterima. Dan aku (akhirnya) melihatnya…. Ia tepat berdiri di dekat pilar besar mengenakan celana Levi’s, yang entah seharga berapa juta rupiah, dengan kaus Polo hitam polos. Favoritku.
Al langsung memelukku tanpa berkata apa pun ketika menyadari ada setitik air mata di ujung mataku.
“Falenas itu seorang pengkhianat, loh, di game Suikoden V. Masa pengkhianat menangis?”
Aku tahu ia bermaksud menghiburku. Tapi satu kata itu justru membangkitkan amarahku.
“Namaku boleh diambil dari seorang pengkhianat, meski nama itu hanya ada dalam dunia virtual sekalipun. Tapi, Al, kau harus tahu dan cam-kan ini. Aku TIDAK berniat untuk menjadi pengkhianat. Peduli setan jika aku menangis sekarang. Itu sah saja bagiku. Aku bukan Ayah.”
“Aku tahu, kok, kamu bukan Ayah.”
Dari caranya memperlakukanku, kutebak Al sudah mengerti apa yang terjadi tanpa harus kusampaikan melalui kata-kata. Ia pun hanya diam, tidak mencoba menghiburku dengan kalimat sok bijak atau justru meluncurkan lelucon, karena aku sangat membenci hal itu. Ia tahu―dan sangat tahu―bahwa aku hanya butuh untuk tenang.
Kami pun terus berpelukan sampai pengeras suara memberitahu kami bahwa pesawat yang ditumpangi Al akan menuju London sepuluh menit lagi, tepat jam delapan pagi.

***

Aku bertemu dengan Al di sebuah pemakaman umum di ibu kota. Pagi-pagi sekali di hari Minggu, aku terbiasa pergi ke pemakaman untuk menjenguk ibu. Kupikir, aku sudah cukup pagi. Karena tak pernah ada orang lain selain aku dan pengurus pemakaman yang ada di sana setiap aku datang. Biasanya, orang-orang datang menyekar jam delapan atau sembilan pagi. Sementara aku biasa datang jam lima.
Namun pagi itu, aku menemukan sosok lain. Bukan pengurus pemakaman, bukan pula pengurus pemakaman yang baru (karena hidungnya kelewat mancung dan kulitnya kelewat cerah terawat untuk jadi pengurus pemakaman). Tentunya, tidak mungkin diriku. Jadi, ya… aku sedikit merasa ‘tersaingi’ ketika ada yang menandingi jam kunjunganku. Sebenarnya hal semacam itu tidak penting. Tapi entah kenapa, kunjungannya yang lebih pagi dariku itu membuatku penasaran dengannya.
Aku pun memberanikan diri untuk menyapanya terlebih dahulu sebelum aku menyapa ibu.
Included in your vacation-list?” Tanyaku.
Aku sengaja menggunakan bahasa Inggris karena melihat ciri fisiknya yang kaukasoid itu.
“Bukan turis, kok,” jawabnya pelan.
“Oh. Maaf.”
Dengan pembuka sapaan kecil macam itu, kami langsung akrab. Akrab yang ‘benar-benar’ akrab. Kami bercerita tentang banyak hal. Dan satu hal yang paling mengesankan: kami bermain Bingo! Aku benar-benar tidak pernah bertemu partner sehebat dia selama bermain Bingo setelah ayah.
Bayangkan, seorang pendatang baru dalam hidupmu menantangmu untuk bermain Bingo. Di mana notabenenya, kamu sudah bermain Bingo dari orok. Dan Bingo ialah suatu gift dari Tuhan yang tidak bisa terelakkan lagi karena memang sudah warisan genetik. Tentunya, adrenalinmu langsung mendidih bukan?
Begitupun aku. Aku merasa sangat tertantang ketika dia mengajakku bermain Bingo dengan ukuran 100x100.
Gila!” jeritku saat itu.
Yang benar saja. Aku pun menyanggupi saat itu juga. Namun aku kalah. Benar-benar hebat si Al ini.
Detik demi detik, obrolan kami pun berkembang. Kehidupan, cinta, pun keluarga. Aku tahu dia anak tunggal dan pernah menutup diri selama delapan tahun karena ditinggal mantannya semasa SMA. Hal-hal klasik semacam itu. Aku pun tahu ia blaster Jerman-Indonesia. Ibunya, yang kebetulan dikuburkan di sebelah makam ibuku, orang Indonesia asli dari ras Sunda. Ayahnya ialah seorang engineer di Jerman. (Aku lupa bagaimana cara keduanya bertemu karena terlalu sibuk menulusuri bingkai wajahnya). Ia bisa terdampar di London karena kakeknya berasal dari sana. Lain-lain dan sebagainya, tidak perlu kuceritakan di sini. Ini disebut privasi.
Pada akhirnya, aku pun bercerita juga tentang aku. Sejarah kehidupanku, cintaku, pun keluargaku. Sampai pada tragedi setahun lalu dan konflik yang kumiliki dengan ayah.
Obrolan kami pun berlanjut. Kami tidak lagi berbincang di depan nisan kedua orang tua kami, namun beranjak ke tempat yang lebih elit. Restoran, kafe, pub sampai hotel, semua kami rambahi. Begitu saja, kami biarkan diri kami mengalir mengikuti arus seperti filosofi tokai dari Cina.
Aku cinta Al. Lebih dari apa pun. Lebih dari ayah.

***

Sudah seminggu Al tidak berada di Indonesia semenjak kepergiannya ke London hari itu. Ia pun jarang memberikan kabar. Paling-paling, hanya memberi video note yang merekam kelap-kelip kota London. Katanya, ingin sibuk menjadi orang pintar. Ha-ha. Padahal olimpiade yang ia ikuti adalah olimpiade games biasa. Ia pun sudah pernah berkali-kali mendapatkan emas dari berbagai jenis olimpiade games. Entah apa yang ia sibuk persiapkan pada olimpiade ini. Ia, kan, sudah jago. Jadi ia tidak perlu seserius itu.
Aku sedang menikmati hirup kopi pagiku ketika semburat kuning berbentuk kertas tertempel di kulkas.
Ayah pergi.
Begitulah bunyi pesan yang tertulis pada Post-It di kulkas itu.
Pergi saja, pikirku. Toh, ada maupun tidak ada ayah, tidak ada bedanya.
Oh! Al menelepon!
“Fale!”
“Al!”
“Kau semangat sekali!”
“Kau juga begitu!”
“Bagaimana tidak?”
Derai tawa pun berderai di antara kami.
“Aku mohon kau ke London. Hari ini juga.”
Tunggu, tunggu. Apa katanya?
Seakan dapat mendengar suara hatiku, Al mengulang kembali kalimatnya.
“Ke London. Hari ini juga.”
“Apakah ini penting sekali?”
“Apakah aku tidak kau anggap penting?”
“Oh, Al. Jangan mulai. Aku akan ke bandara lima belas menit lagi. Akan kuusahakan berangkat dengan pesawat paling cepat. Kau memang sepenting itu.”
“Kupastikan kalau kau juga sepenting itu untukku.”
Kami pun tertawa lagi. Al memang seperti itu. Aku sudah biasa dan tidak kaget dengan kebiasaannya. Awal-awal, suasana memang akan canggung setelah ia meluncurkan satu-dua kata jurus gombal-nya. Namun kian hari, hal seperti itu hanya menjadi bahan lelucon kami.

***

“Ayah?”
Mengapa ayah ada di sini? Di London?! Pertanda apa ini?
Aku baru saja sampai dua jam yang lalu di London dan sekarang baru menginjakkan kaki di hotel pelatihan tempat Al berada. Namun, mengapa… ayah ada di sini?
“Fale!” Suara Al memanggilku.
Detik berikutnya aku terlalu terguncang. Ternyata selama ini yang diikuti Al ialah Olimpiade Bingo milik ayah. Ternyata... Olimpiade Bingo pengkhianatan terhadap ibu yang direncanakan ayah sudah akan dimulai.... Pantas saja ayah ada di London.
“Tapi sungguh Fale, aku baru tahu bahwa ini olimpiade itu. Aku tidak akan melanjutkan olimpiade ini, Fale. Aku tidak bisa. Aku selalu terbayang oleh sejarah olimpiade ini....”
“Al, kau, kan, tahu. Aku pun tahu. Segala sesuatu yang berhubungan dengan games adalah segalanya bagimu. Kalau sejarah olimpiade ini justru mengganggumu, aku akan mem-”
“Tidak, Fale. Tidak bisa.”
“Al! Sungguh, dengarkan aku.” Aku meraih pundaknya untuk menghadap ke arahku.
“Mainkan Bingo-mu. It’s okay.”

***

Setelah semua rangkaian acara Olimpiade Bingo hamper selesai dilaksanakan, aku berencana membunuh ayah. Namun, apa daya. Al terlalu baik. Al terlalu sempurna. Ia mengajarkanku bagaimana caranya mencintai dan memaafkan.
Kita yang nantinya harus membuktikan, bahwa cinta sejati duo gamers bukanlah omong kosong belaka,” katanya kala itu.
Puji Tuhan, aku pun di lamar Al saat ia sedang menyampaikan pidato kemenangannya di atas podium.





February 26th, 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

GORESAN CUNEIFORM (MESOPOTAMIA)

G 30 S

Myself War