Myself War

Seluruh saraf sensorik ini sudah berkali-kali meminta, melolong, menggonggong minta berhenti. Metorik hanya diam. Sang Intuisi kadang kalah, kadang menang, kadang seri dari Logika. Sensorik pun hanya bisa terkujur lemas. Lelah tidak mendapat attention apa-apa.

Entah apa yang diminta diri ini. Bahkan sang Pemilik pun tidak tahu. Apa tujuan dan bagaimana mengakhirinya... ia tidak tahu. Sudah berulang kali minta berhenti, tetapi? Sama saja. Semua berjalan tanpa apa pun. Layaknya... hm, tidak ditindak lanjuti lebih lanjut, mungkin? Mungkin, permintaan tidak terdeteksi. Mungkin, memang tidak sepantasnya. Mungkin, harus begitu. Atau hanya... masalah waktu?

Sudahlah, ujar Sensorik, setengah menahan isak tangis. Padahal, di dalam hati-nya sudah. Sensorik selalu sok-sok memotivasi, tapi tetap saja. Sensorik yang berbicara. Sensorik yang seharusnya memiliki kendali, dimana permintannya harus dipenuhi. Jika tidak? Sakitlah kau!

Oh, sungguh, ini bukan tipuan, gurauan, terlebih ranjau. Ini sungguhan. Motorik selalu memonopoli akan hal ini. Diri ini bahkan tidak terima. Tapi... bisa apa? Keadaan yang membuatnya begini. Bahkan sesungguhnya, diri ini tidak perlu menyalahkan Motorik. Tidak terkecuali kepada siapa pun. Memang, “keadaan” yang membuatnya begini, yang mengharuskan dia untuk begini. Sekeras apa pun membantah, ini memang keadaan.

Tidak, jangan salahkan Keadaan.

Mungkinkah ini sekaligus menjalani takdir? Wah, jangan mengarah ke sana. Apa pun topik ini, ini saja sudah berat. Memang berat. Sungguh, jangan libatkan Takdir. Ini saja sudah cukup rumit.

Diri ini ingin berontak, entah memberontak atas apa, kau tidak perlu tahu. Sensorik tentu saja menyampaikan: “berontaklah!”. Itu kan hak paten Intuisi. Untuk kali ini, Motorik mengizinkan. Mungkin, karena ikut kelelahan.

“Tetapi, tetap menurut ya,” katanya.

Intuisi berkata dari jauh: sialan. []

Komentar

Postingan populer dari blog ini

GORESAN CUNEIFORM (MESOPOTAMIA)

GARIS

Do You Know: Kolonialisme Imperialisme