TOPENG: DALIH KEJAHATAN DI DUNIA



TOPENG: DALIH KEJAHATAN DI DUNIA
Oleh: NN

www.legaljuice.com


0/365 hari

                “Cepat pasang topengmu! 15 dari 60 detik kita akan sampai,” seru si Sulung. Si Bungsu hanya bisa meng-iya-kan tanpa bantahan. Ia memang penurut. Saking penurutnya, mungkin ia rela jika diminta menggonggong. Toh, si Bungsu bisa apa? Tidak ada daya baginya untuk membantah. Baginya, hidup itu putih. Putih itu kertas. Hidupnya putih seperti kertas. Telalu lempeng? Ya, memang.
                “Aku tidak sabar…. Aku tidak sabar…. Oh, demi Tuhan! Bolehkah aku melompat saja sekarang?” Ucap si Bungsu. Sama sekali tidak ada nada bercanda yang terdeteksi.
                “Bodoh! Dunia tidak seberkilau itu! Cepat-cepat lambaikan tangan jika kau tidak tahan―maksudku―itu tanda menyerah,” kata si Sulung. Mungkin ia cukup lelah menghadapi adiknya yang satu itu. Ia polos…. Ia polos…. Tolong bunyikan alarm itu, Otakku, jika aku ingin segera, secepat mungkin, mengayunkan pedang tepat ke lehernya, pikir si Sulung.
                “Tidak. Tidak akan!” Sahut si Bungsu cepat.
                Seraya memutar bola matanya, Sulung berkata datar, “lima… empat… tiga… dua… satu.”

1/365 hari

                Pssshh…. Alat terbang itu sudah mendarat sekarang. Bukan! Duh, tolong jangan bayangkan alat terbang itu berbentuk cakram yang ada sedikit benjolan di bagian tengahnya. Apalagi jika yang terbayang seperti kue cubit. Dikira si Sulung dan si Bungsu itu alien? Haha. Korban film abis! Karena alat terbang itu hanya pesawat―seperti pesawat-pesawat normal lainnya. Omong-omong, alat terbang itu mendarat di Bumi.
                Ini adalah perjalanan kesekian yang dilakukan si Sulung untuk menemani adik-adiknya tur ke dunia. Menurut si Bungsu seperti itu. Namun tidak demekian bagi si Sulung. Hal ini tidak hanya tur, tetapi ‘ekspedisi’ besar-besaran yang akan menguras tenaga, pikiran, serta hati. Pokoknya, rumit.
                “Lihat itu! Sepertinya bapak itu memiliki makanan super enak. Bolehkah aku ikut mengantri?” Terlihat sekali binar antusiasme dari mata si Bungsu.

Fenomena 1: terdeteksi

                “Bapak itu tukang bakso―kau tahu―daging yang dibentuk bulat-bulat seperti bola. Dan―kau―tidak boleh mengantri untuk sekedar mencoba, apalagi melahap baksonya sampai habis. Maksudku, apa kau tidak memperhatikan? Bakso itu berwarna nyaris putih. Tidak lazim, karena bakso biasanya berwarna ke-abu-abu-an.”
                “Apa maksudmu?” Pernyataan dari si Sulung benar-benar membuatnya bingung. Ini bahkan baru hari pertama. Ia tahu apa itu bakso, guru pelajaran Dunia yang memberitahunya. Namun, apa yang salah dengan bakso berwarna nyaris putih? Itu, kan, hanya sebulat bakso.
                “Tukang bakso itu mencampurkan boraks ke dalam baksonya agar lebih enak dan kenyal. Dan dia tidak harus mengeluarkan uang banyak untuk itu.”
“Bukankah itu bagus?” Mata si Bungsu semakin memancarkan kilauan. “Lihat! Tempat itu ramai, banyak yang mengantri, dan―”
“―boraks itu racun―”
“―SUNGGUH?!” Si Bungsu menutup mulutnya tanda tidak percaya. “A… aku… aku hanya… ke… kenapa….”
“Lihat ke dalam diri tukang bakso itu. Masuk dan salami,” ujar si Sulung, masih tampak kalem setelah membuat syok si Bungsu.
“I… ia tertawa…. Ia tertawa seperti setan…. Ia ter… tersenyum licik…. Ia merasa menang….” Bibir si Bungsu bergetar. Ia pun menggigit bibirnya dalam-dalam, nyaris berdarah. Ia tak pernah melihat hal sekeji ini. “A… aku mau pergi….” Si Sulung hanya memutar bola matanya mendengar reaksi adiknya itu. Hebat, pikirnya. Ia terguncang. Wow. “Aku sungguh-sungguh ingin pergi,” ujar si Bungsu lagi, tidak tahan. “Sekarang!”

2/365 hari

                “Kau mendengkur keras sekali. Rasanya, aku ingin menyumpal mulutmu dengan Kitkati,” ucap si Sulung.
                “Ya, selamat pagi juga, Kakak-ku.”
                “Tidak perlu menjadi sinis begitu, Adik-ku.”
                “Entahlah. Aku rasa, jantung bulan telah berhenti berdetak. Karena aku merasa sedang tidak bersinar, dan―”
                “―maaf?”
                “Tidak. Aku hanya ingin makan pizza.”
                “Dengan Kitkat?”
                “Persetan dengan Kitkat,” seru si Bungsu, lalu diikuti oleh derai tawa keduanya. Namun, percakapan seseorang menyela perhatian mereka. “Kau percaya padaku, bukan? Aku. Dipihakmu. Ya, aku menekankan setiap katanya. Percayalah. Aku hanya tidak bisa mengumumkan secara gambalang bahwa aku dipihakmu. Karena nantinya, mereka pasti menyerangku juga dan aku tidak bisa membantumu secara… ng, diam-diam.” Perempuan itu berambut pirang dan memiliki bibir ranum merah yang mempercantik wajahnya. Lawan bicaranya―perempuan berambut hitam pendek―hanya menatapnya lekat-lekat.
                “Aku percaya,” ucapnya delapan belas detik kemudian, lalu melenggan pergi begitu saja.
                Si Sulung menoleh kepada si Bungsu, menaikkan alisnya seakan berkata, tertarik? Si Bungsu hanya mengedipkan mata kanannya. Ya.

Fenomena 2: terdeteksi

                “Biz,” sahut segerombolan geng sekolah. Perempuan berambut pirang itu pun menoleh. “Apa?” Ujarnya reflex. Tetapi, sedetik kemudian ia langsung mafhum, lalu tersenyum.
                “Jadi… bagaimana, Biz? Lancar? Ada hambatan? Perlu bantuan?”
                “Tak perlu memborongku dengan pertanyaan, Juan. Aku melakukannya dengan sangat amat baik sekali. Tidak ada yang harus kau khawatirkan.”
                “Aku merasa meayang sekarang dengan laporan yang memuaskan itu. Hahaha. Jerat dia sekarang! Kepercayaan dia pasti sedang hangat-hangatnya.” Biz serta antek-antek Juan yang lain langsung bubar untuk melaksanakan tugas. Tentu saja degup Biz terasa lebih cepat―ini proyeknya.
                “Daph, ya, ini aku. Oh, Tuhan. Tentu saja aku serius dengan pertemanan kita.” Diam-diam Biz memutar bola matanya. “Temui aku sekarang di Fable dan jangan lupa berdandan. Pakai saja pakaian casual-mu seperti biasa. Ya, akan kukirim alamatnya mealui SMS. Jam Sembilan mala mini. Yap, bye, Daph. Rock on!” Biz menghela napas.
                Rock on? Si Bungsu menatap si Sulung kebingungan.
                “Hanya digunakan di lingkungan kelas atas. Jangan menatapku heran. Daph memang mencoba beradaptasi dengan Biz yang kelas atas. Tepatnya, Daph memaksakan diri.” Si Bungsu hanya mengangguk.
                Kejatuhan duren apa si Daph semalam? Ia benar-benar tidak tahu kalau Fable yang ia tuju buanlah café, tapi diskotek. Daph benar-benar kehilangan harga diri semalam. Ia diselengkat, disiram dengan koktail, dijambak, ditertawai karena berdandan menor dan memakai kemeja kotak-kotak, demi Tuhan!
                Satu yang ia tahu: Biz tidak serius. Perempuan itu ikut menertawainya. Tepat ketika Daph menyadari itu, si Bungsu menarik diri dari Fable.

3/365 hari

                “Espresso?” Tanya si SUlung sembari menjulurkan cangkirnya kepada si Bungsu.
                “Tidak.” Singkat, padat, jelas. Tentu saja si Bungsu memikirkan hal kemarin malam. SI sulung tahu betul hal itu. Ia merutuk dirinya dalam hati. Ia tahu si Bungsu ini sangat rentan, bahkan paling rentan dari yang lainnya. Tapi ia hanya ingin semua adiknya berhenti.
“Lihat pemabuk cinta itu,” kata si Sulung memecah keheningan. Si Bungsu hanya melirik. “Siap?” Tanya si Sulung, ingin memastikan. Si Bungsu hanya mengangguk.

Fenomena 3: terdeteksi

“Paling atas ya, Mbak. Di sini aja nih,” kata pemuda tinggi atletis kepada salah satu pegawai bioskop yang berjaga di pembelian tiket. Ia menunjuk tempat duduk yang berada paling pojok di layar pemesanan. Gadis di sebelahnya hanya mengernyit. Sepertinya mereka belum jadian, pikir si Sulung.
Benar saja. Sang Gadis terlihat agak terkejut menerima sentuhan dari sang Pemuda. Mereka menonton, tapi pikiran mereka melayang ke arah yang berbeda. Terbang menembus khayal lain yang masing-masing sebenarnya masih dipertanyakan. Hingga….
“Jangan dilihat!” Seru si Sulung, cepat-cepat menutup mata si Bungsu dengan tangannya.
Pergerakan kedua insan itu, parahnya, meninggalkan jejak suara kecupan yang cukup panjang. Tentu saja mengusik pikiran si Bungsu.
“Biasa saja,” ujar si Bungsu datar. Tak pernah ingin menunjukkan semburat wajahnya karena ia baru pertama kali melihat. Merasa sudah cukup dewasa untuk mengakui bahwa hal yang terjadi di depannya memang dewasa dan berlagak tidak peduli―padahal psikisnya cukup terguncang.
Kedu pemabuk cinta itu berlanjut ke salah satu resto di mal tersebut. Sembari menunggu makanan, sang Gadis memberanikan bertanya.
Why you did that to me?”
Terang saja ucapan itu terlontar. Terang saja sang Gadis merasa diambang kebenaran. Benang cinta macam apapun memang tak pernah mengikat mereka. Siapa ia? Siapa engkau? Siapa mereka? Mereka kan belum dan tidak pernah menjadi apa-apa.
You think?” Pertanyaan yang dibalas pertanyaan oleh sang Pemuda.
Do you did that to every girls that you met?”
Not every girls. But some of them.” Sang Gadis langsung memicingkan matanya. “You know? That’s just my standard way to make friends. If I have a feeling even love with you, I’ll do more than that. That’s just my standard way, okay? So, never mind.”
Bagai belati yang menancap, si Bungsu ikut tertohok mendengar pernyataan itu. Sama seperti sang Gadis yang sekarang hanya menatap malang pada pelayan yang menyuguhkan makanan yang mereka pesan. Ia tersenyum sedikit, nyaris meringis. Mengingat pertahanan hatinya telah runtuh satu demi satu karena pernyataan itu. Ia pikir, pengalaman cintanya sudah cukup. Ia pikir, pasok sakit hati-nya telah habis tak tersisa. Ternyata… sekali terlontar satu-dua patah kata… hatinya kalah. Sang Pemuda dengan telak berhasil membuatnya luluh lantak.
Si Bungsu menggeleng tak mengerti. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa sang Gadis masih duduk dengan tegak di atas kursinya yang berbusa empuk namun tetap bagai duri tersebut? Bahkan dirinya sudah beringsut pergi, tak kuat melihat kekejaman yang ternyata nyaris berakar di setiap jengkal Bumi yang ia lewati. Nyaris. Di setiap jengkal, si Bungsu menggeleng-gelengkan kepalanya tak mengerti.
It WAS for fun,” tambah sang Pemuda lagi. Sang Gadis pun membeku. “Kamu heran kenapa aku bisa berubah drastic dari manis jadi sinis begini? Ha-ha. Perlu kamu catat baik-baik, sikap ini cuma mainan buat aku. Bukan mainan. Tapi alat. Alat untuk menghadapi dunia yang keras ini beberapa tahun ke depan. Bukan cuma buat aku, tapi buat kamu juga. Sikap ini alat. Belajar jalankan hidup pakai logika, bukan pakai hati.”
Si Sulung benar-benar tidak dapat berbuat apa-apa. Fenomena ke-tiga tadi… sungguh mengejutkan. Belum pernah ia menemukan yang seperti ini sepanjang ‘ekspedisi’-nya. Mungkin, itulah terobosan baru di 2015. Ia sampai sulit berkata-kata. Hanya bisa duduk diam di sebelah si Bungsu yang sudah lama menyepi.
“Kenapa….” Kata-kata si Bungsu menggantung, tapi si Sulung sudah bisa menebak bibir percakapan ini.
“Kau selalu masuk dan menyelami diri mereka satu-satu, kan? Dari tukang bakso, Biz, sampai sang Pemuda tadi?”
“Ya.”
“Apa yang kau temui?”
“Sama saja. Senyum licik… senyum setan…. Ada juga batasan tipis antara sifat baik dan buruk dari manusia itu. Tidak bisakah kau mengerti? Di dalam tubuhnya, ada banyak sifat baik. Lalu ada sebuah batasan. Setelah itu ada sifat jahat. Mereka mudah sekali mengeluarkan sikap baik dan buruk mereka itu. Seakan… tiada ketetapan, sampai-sampai baik dan buruk terasa sama saja.” Si Bungsu menjambak-jambak rambutnya. “Mereka seperti… kehilangan hati diri….”
“Itu topeng,” tukas si Sulung. “Pembatas yang kau lihat itu topeng mereka. Mereka dengan mudahnya mengeluarkan sifat baik ataupun buruk. Karena keduanya terasa sama saja.”
“Lalu kenapa kita ikut memakai topeng ini saat mendarat di Bumi? Bukankah ini membuat kita sama palsunya?”
“Topeng ini melindungi kita. Melindungi jati diri kita yang sebenarnya. Bukankah topeng untuk melindungi dan menutupi wajah, bukannya untuk mengelabui?”
“Aku tidak mengerti…,” aku si Bungsu.
“Yang ingin kutegaskan adalah dunia tidak seberkilau yang kau pikirkan, Adik-ku. Dunia penuh kriminalitas, kepalsuan dan lain-lain yang keji. Maksudku untuk memakai topeng ini adalah untuk melindungi kita. Bukannya menggunakan topeng untuk menjahati orang lain, mengelabui dan lain-lain yang keji. Paham?”
Si Bungsu mengangguk. “Aku ingin pulang. Dunia sudah bobrok.”







Agustus 11th, 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya

GARIS

GORESAN CUNEIFORM (MESOPOTAMIA)