BUKAN KETROPRAK YANG ITU
Apakah
citizens masih mengetahui keberadaan ketoprak? Apakah citizens
mengenal apa jati diri dari ketoprak ini? Apakah ketoprak masih ‘eksis’ di
Indonesia bahkan dunia?
Bicara
mengenai abad ke-21, masyarakat dapat dipastikan lebih menyukai film-film yang
diproduksi secara digital atau film-film yang ditayangkan di media elektronik,
seperti Youtube, televise, atau yang berada di bioskop. Hal ini terbukti dari
desakan-desakan yang terjadi di sepanjang antrian yang biasanya terjadi di
bioskop, bahkan sampai lahirnya pembajak yang menghasilkan CD film bajakan
untuk masyarakat.
Dilihat dari
minat masyarakat yang seperti ini, tentunya hal ini berdampak bagi para pemain
ketoprak yang notabene ditinggalkan oleh penontonnya seiring berjalannya waktu.
Pun berdampak pula pada keberagaman budaya Indonesia, khususnya budaya dari
Jawa Tengah ini. Ketoprak pun kian hari kian sepi, berjalan punah dan nyaris
musnah.
Apa itu
ketoprak? Bukanlah sesuatu yang memenuhi piring dan penuh dengan bumbu kacang.
Bukan ketoprak yang itu. Ketoprak adalah salah satu dari budaya Indonesia
berupa pertunjukan laga drama yang menceritakan tentang babad Tanah Jawa.
Biasanya, cerita tersebut diambil dari cerita legenda atau sejarah Jawa. Dalam
pentasannya, ketoprak diselingi dengan lagu-lagu Jawa yang diiringi dengan
gamelan. Beberapa lakon ketoprak yang terkenal misalnya Darma-Darmi,
Kendana-Gendini, Aryo Penangsang Mati Ngadeg, Warok Suramenggala, Abdul
Semararupi, Panji Asmarabangun, Klana Sewandana, Ande-ande lumut, Anglingdarma,
Rara Mendut-Pranacitra, Damar Wulan, dan sebagainya.
Seiring
berkembangnya zaman, ketoprak pun menyesuaikan diri dengan ceritanya.
Menghadapi persaingan yang begitu ketat, tahun 1955-1958, kelompok ketoprak
menambahkan kata modern di nama grupnya. Seperti: Ketoprak Modern Krido Mardi,
Ketoprak Modern S 3 Marem , dan lain-lain.
Kini,
ketoprak seperti menghilang di pelupuk mata masyarakat. Selain karena minat
yang turun akibat imbas globalisasi, regenerasi terhadap ketoprak ini pun bisa
dibilang tidak sejalan dengan mulus. Jarang sekali yang ingin menjadi pelakon
ketoprak di era sekarang, sehingga ketoprak pun jarang memiliki penerus di
setiap grupnya dan tidak terwarisi dengan baik.
Melihat fakta
tersebut, pemerintah Yogyakarta tidak tinggal diam. Selama Sembilan hari,
tanggal 11-19 September 2015, digelarlah Festival Kethoprak se-Kabupaten
Sleman. Pada 3 hari pertama digelar di Lapangan Pokoh Wedomartani Ngemplak atau
wilayah Timur. Sejak 14 September 2015 berpindah ke wilayah Sleman Tengah,
yakni di Lapangan Kregolan Margomulyo Seyegan. Terakhir, pada 17-19 September
2015, pentas digelar di wilayah Sleman Tengah berpusat di Lapangan Denggung
Sleman.
“Kegiatan
Festival Kethoprak se-Kabupaten Sleman diikuti oleh 17 kecamatan se-Kabupaten
Sleman dengan usia maksimal 35 tahun. Hal ini dimaksudkan memberikan kesempatan
kepada generasi muda untuk dapat aktif melestarikan budaya ketoprak.”
Mengutip dari
perkataan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, AA. Ayu Laksmi Dewi tersebut,
dapat terlihat bahwa festival ini merupakan salah satu upaya untuk menjaga dan
melestarikan ketoprak sebagai budaya Indonesia, pun menjadi media pengenalan
yang diperuntukan bagi generasi muda agar keberadaan ketoprak terus
berlangsung.
Mengapa
generasi muda perlu untuk menjaga dan melestarikan budaya, salah satunya
ketoprak ini? Karena budaya merupakan salah satu bagian dari identitas bangsa,
dimana identitas merupakan hal penting bagi negara sebagai jari diri bangsa.
Selain itu,
ketoprak pun memiliki banyak fungsi, di antaranya ialah fungsi hiburan, fungsi
media penerangan atau kritik social dan fungsi pendidikan. Karena pada faktanya[1],
dalam ketoprak tidak diperbolehkan adegan kasar (walau hanya adegan tempelengan)
meskipun ceritanya sedang membawa konflik. Tentunya, fakta ini sudah jarang
ditemukan dalam sinema elektronik Indoensia yang biasanya beredar di televisi.
Apa lagi yang
dapat dilakukan untuk menjaga dan melestarikan budaya ketoprak ini?
Internalisasi merupakan salah satu jawabannya. Ialah proses pewarisan budaya
secara turun temurun yang dapat dilakukan secara satu arah dan verbal (oleh
guru dengan murid), secara dua arah, atau dijadikan sebagai perilaku
keseharian. Internalisasi ini sebaiknya dilakukan sejak dini, baik dari pihak
keluarga maupun lembaga sekolah. Agae setidaknya, generasi muda mengetahui
eksistensi ketoprak.
Cara lain
ialah dengan membuat ketoprak sebagai media galang sosial untuk masyarakat.
Semisal, tiket pertunjukan ketoprak yang digelar dapat dialokasikan untuk para
orang berpenyakit kanker. Dengan begini, minat masyarakat diprediksikan
meningkat. Tidak hanya menonton petunjukan ketoprak, tetapi bisa sekaligus
beramal untuk orang lain yang lebih membutuhkan.
Dengan
beberapa cara tersebut, diharapkan ketoprak dapat terus terjaga dan lestari.
Hingga keberagaman budaya Indonesia kian hari tidak kian menurun dan terus ada
sebagai identitas nasional bangsa.
Sebagai
generasi muda, haruslah peduli dengan kelestarian budaya bangsa. Jangan ragu
untuk menjaga budaya bangsa karena itulah ‘tugas’ yang harus dilaksanakan.
Patahkan semua paradigma budaya yang dianggap kuno, kolot, dan
sebagainya. Mari lestarikan budaya
bangsa.
Sumber:
(Diakses pada tanggal 4 Februari 2016)
11th
February 2016
Komentar
Posting Komentar